Petani adalah Pahlawan tanpa tanda jasa, namun hanya di pandang
sebelah mata hampir terlupakan dan di acuhkan hak-haknya. Hari Tani Nasional tepat jatuh pada tanggal 24 September, 54 tahun hari ini sejak di tetapkannya oleh Presiden pertama Indonesia Soekarno pada tahun 1960. Dengan diusungnya UUPA dimana undang-undang yang mengatur tentang pokok-pokok agraria. Petani bekerja tak henti dibawah teriknya mentari dan tindasan sistem kapitalisme yang masih terasa sampai saat ini di indonesia, menyediakan pangan untuk jutaan umat manusia. Namun keuntungan bagi mereka tak seberapa. Ironi dan menyedihkan di sebuah Negara yang mengklaim dirinya sebagai Negara agraris. Namun tak ada realisasi yang nyata yang di dapatkan para petani. Memang petani adalah pahlawan, namun benar terlupakan. Hari Tani Nasional 24 September yang seharusnya dapat menjadi suatu momen tahunan yang wajib untuk menghargai perjuangan para petani dan menjadi momen untuk merancang gerakan pembangunan yang menjadi barometer kemajuan bangsa indonesia, namun kini petani malah semakin terlupakan. Janji yang simpang siur dari setiap pemimpin bangsa ini membuat nasib petani berada diujung tanduk kemiskinan, nyatanya masih banyak permasalahan yang menjadi PR besar bangsa ini, mulai dari sengketa lahan yang tak pernah ada ujungnya sampai akhirnya penggusuran lahan secara paksa oleh pihak swasta. Padahal sudah jelas didalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 (Naskah Asli), yang menyatakan, "Bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat" , realitasnya tidak demikian. Rakyat hanya di gunakan sebagai alat pemakmuran beberapa pihak. Kemakmuran belum terasa di beberapa wilayah pinggiran indonesia, masih banyak sekali pejuang tanpa tanda jasa yang hidup serba pas-pasan. Begituh pula para petani yang ekonominya tidak mendukung serta semakin sulitnya mendapatkan pupuk bersubsidi yang di alami beberapa petani. Masih banyak masalah yang dihadapi indonesia di sektor pangan, khususnya pertanian, kelautan, dan perikanan. Salah satunya adalah petani dan nelayan yang masih belum dapat hidup sejahtera. Padahal sektor ini sangat vital untuk menjamin kelangsungan dan kemajuan suatu negara apalagi indonesia, yang hampir 75 persen masyarakat indonesia bergerak dalam sektor pertanian, kelautan dan perikanan. Oleh karena itu, pertumbuhan di sektor pertanian, kelautan, dan perikanan harus dipacu agar berdampak bagi kesejahteraan petani dan nelayan. Beberapa kasus yang sampai saat ini masih terbengkalai padahal telah terjadi beberapa pergantian transisi para birokrat yang berjalan mulus, namun tak sebanding dengan berjalan mulusnya pemecahan setiap masalah yang ada. Sebagai contoh : Kasus sengketa lahan antara perusahaan raksasa properti APL (Agung Podomoro Land) melalui anak usahanya PT. Sumber Air Mas Pratama (PT. SAMP) dengan petani di kabupaten karawang ialah salah satu kasus yang belum lama terjadi. Sampai saat ini belum ada penyelesaian secara menyeluruh walaupun disinyalir ada permainan "many potilic" dalam memuluskan sengketa ini. Serta beberapa pihak berpendatan dengan kekuatan uang dan akses ke elite politik lah yang memuluskan jalan nya eksekusi di 3 desa tersebut yakni desa margamulya, wanakerta dan wanasari - kecamatan telukjambe barat kabupaten karawang. Ironi sengketa lahan tersebut yang seharusnya hanya 70 hektar lahan yang terbukti oleh pihak swasta kini meluas menjadi 350 hektar lahanlah yang akhirnya menjadi sasaran empuk pihak eksekutor pada tgl 24 Juni 2014 dengan mengerahkan 7000 personil brimob. Yang lebih ironi aparat brimob di lengkapi dengan senjata penuh di tambah dengan kendaraan Baracuda dan kendaraan Watercanon, padahal yang mereka hadapi hanyalah petani kecil yang berjumlah tidak lebih 600 orang. Pemerintahan baru yang kini mengklaim sebagai pemerintah yang "pro rakyat kecil" apakah mampu menyelesaikan setiap kasus yang sebelumnya belum tuntas dan di tinggalkan oleh pemerintahan terdahulu. Sehingga tidak ada lagi kasus-kasus sengketa yang berujung bentrok antara aparat dengan warga sipil. -Calam Rahmat jurnalistik, Uin Bandung |
0 komentar:
Posting Komentar