“Tajam ke Bawah Tumpul ke Atas”
BANDUNG, MMI - Indonesia
merupakan negara hukum yang berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila.
Penegakan hukum menjadi acuan perkembangan keadilan di suatu Negara, tolak ukur
utama tersebut terlepas dari background
apa negara itu ada. Namun, beda halnya dengan di Indonesia sebuah kepastian
hukum masih terus tak jelas bahkan sampai mengalami kemunduran.
Sudah saat nya
Indonesia terlepas dari bayang-bayang aturan yang dibentuk pada jaman kolonial.
Demi tercapai nya ketertiban dan
kedamaian hukum, maka hukum berfungsi memberikan jaminan kepada seseorang agar
kepentingan nya diperhatikan oleh orang lain. Indonesia saat ini sedang
mengalami krisis dalam penegakan hukum. Fenomena tersebut dapat dilihat ketika
dalam penegakan hukum, kepastian hukum lebih diutamakan daripada keadilan atau
kemanfaatan hukum itu sendiri.
Dalam kenyataannya, ide penegakan hukum semacam itu
seringkali tidak berhasil. Hukum lebih tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.
Hukum hanya menjadi milik kaum “berada”, tidak bagi kaum si miskin. Pengadilan
terkendali bukan dari aturan yang berlaku tapi dari siapa yang kuat dan bermateril
untuk membayar pengacara sehebat mungkin. Demi mengurangi vonis yang dituntut
oleh Jaksa penuntut umum bahkan, berharap kebebasan yang dituju.
Hukum sudah menjadi aplikasi
permainan kaum borjuis semata. Harus ada pemecahan masalah dalam penegakan
hukum di Indonesia. Seperti anggapan bahwa semua perkara harus diselesaikan
melalui meja hijau. Sebenarnya perlu pendekatan alternatif lain seperti halnya
menyelesaikan perkara pidana dengan pendekatan alternatif dispute resolution. Model ini menggunakan pendekatan peradilan
restoratif, dimana mekanisme ini dimungkinkan dengan adanya diskresi dari pihak
penyidik yaitu kepolisian atau mekanisme deponeering
yang dimiliki oleh Kejaksaan sebagai penuntut. Tentu saja, tujuannya diharapkan
agar beban bagi sistem peradilan pidana menjadi tidak terlalu berat.
Bahkan berbicara tentang penegakan hukum sangat terkait
dengan perilaku menyimpang, baik yang dilakukan oleh orang awam, pejabat
publik, maupun oleh aparat penegak hukum sendiri. Oleh karena itu, pemahaman
yang komprehensif tentang perilaku menyimpang akan sangat membantu upaya
penegakan hukum, khususnya dalam usaha yang bersifat preventif. Yang menjadi
masalah, disamping masalah kompleksitas mengenai perilaku menyimpang dan latar
belakangnya, ada nuansa relativitas ketika menentukan mana perilaku yang
menyimpang, mana yang bukan. Kompleksitas masalah perilaku menyimpang
misalnya menyangkut medical concepts,
legal concepts, dan moral issues
(Schur, 1979:18-25). Sedangkan relativitas perilaku menyimpang antara lain
karena adanya kemungkinan tinjauan dari berbagai aspek atau perspektif lain.
Berangkat
dari kasus yang menjerat warga negara Indonesia terbilang sepele,
ketidakpastian UU yang kuat menjadi unsur utama. Seperti penegakan hukum terhadap orang lanjut
usia dimana jika mengacu pada Undang-undang No. 13 Tahun 1998 Tentang
Kesejahteraan Lanjut Usia khususnya Pasal 5 dan pasal 18 yang menjamin
pelayanan khusus bagi lansia untuk layanan dan bantuan hukum. Hal tersebut,
dimaksudkan untuk melindungi dan memberikan rasa aman kepada orang lanjut usia.
Termasuk layanan dan bantuan hukum di luar dan atau di dalam pengadilan. “Kalo
tentang bantuan hukumnya jelas tidak dipungkiri” jelas M. Irsan Nasution, SH,
MH Dosen Ilmu Hukum UIN Bandung juga Ketua DPD Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia
Jabar, saat ditemui disela-sela perkuliahan.
Seperti
halnya kasus yang menjerat Asyani, seorang nenek berusia 63 tahun karena
dituduh mencuri kayu jati di lahan pihak Perum Perhutan, Situbondo, Jawa Timur.
Kemudian berujung pada pelaporan nenek Ansyani kepada pihak berwajib oleh pihak
Perhutani. Dalam kasus tersebut
pengambilan keputusan yang dilakukan pihak perhutani memang suatu tindakan yang
benar, namun pasalanya tuduhan yang dilayangkan oleh perhutani tidak sesuai
dengan keadaan.
Selain itu,
Irsan juga mendapati beberapa keanehan yang terjadi saat kehumanismean
terabaikan di dalam keputusan yang diambil penegak hukum seperti dalam kasus nenek
Ansyani. “Pertayaannya sekarang, kenapa tanah perhutani tidak di pagar? Kenapa
disewakan kepada masyarakat? Sehingga masyarakat merasa milik dia” Tegas Irsan.
“Apapun yang ditanam oleh masyarakat ya milik mereka karena sudah disewa
sebelumnya dan sudah ada perjanjian” Tambah Irsan. Itulah bebebrapa kejanggalan
yang didapati ketika beberapa kasus bersinggungan dengan lahan/daerah milik
pemerintah, irosnis.
Memang, masih
memerlukan kajian yang lebih mendalam untuk menangani kasus yang menjerat nenek
Ansyani apakah pasal yang dilayangkan menggunakan tuntutan pasal illegal logging atau hanya KUHP tentang
pencurian biasa. Namun Irsan menjelaskan pasal pencurian KUHP 362 itu sendiri
dalam sejarah peradilan di Indonesia tidak pernah menjatuhkan denda pada
kejahatan pencurian. “Itu sebabnya KUHP tentang denda tidak efektif namun tetap
tidak diubah undang-undangnya” ujar Irsan. Jika
memandang dari segi humanisme Irsan berpendapat seharusnya Undang-Undang lama
sudah diganti dengan Undang-Undang yang baru karena dengan jaman sekarnag sudah
tak efektif.
Dalam bukunya Gustav Radbruch (1982)
menjelaskan, seorang hakim dapat mengabaikan hukum tertulis (statutarylaw/state
law) apabila hukum tertulis tersebut ternyata dalam praktiknya tidak
memenuhi rasa keadilan sebagaimana diharapkan oleh masyarakat pencari keadilan.
Namun, wajah peradilan Indonesia berangkat dari kasus Ansyani hanya
menitikberatkan pada aspek dogmatika atau statutory law bahkan
seringkali hakim hanya bertugas untuk menjadi corong Undang-Undang (la
bouche de la loi) yang berakibat pada penciptaan keadilan formal belaka
bahkan seringkali menemui kebuntuan legalitas formal.
Penegakan hukum yang berkeadilan
seharusnya sarat dengan etis dan moral dimana memberi manfaat atau berdaya guna
bagi masyarakat. Namun disamping itu, masyarakat juga mengharapkan adanya
penegakan hukum untuk mencapai keadilan. Kendatipun demikian, terkadang apa
yang dianggap berguna belum tentu adil, begitu juga sebaliknya, apa yang
dirasakan adil, belum tentu berguna bagi masyarakat. Namun perlu diperhatikan
bahwa di dalam menegakan hukum akan lebih baik diutamakan nilai keadilan.
Oleh karena itu, tujuan penegakan hukum yang paling utama
adalah untuk menjamin adanya keadilan tanpa mengabaikan aspek kemanfaatan dan
kepastian hukum bagi masyarakat. Gustav Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan
dan kepastian hukum sebagai tiang penyanggah penegakan hukum. Ketiga-tiganya
diperlukan untuk sampai pada pengertian dan implementasi hukum yang memadai.
Akhir-akhir ini kasus pidana ringan juga menunjukkan
intensitas peningkatan. Seharusnya, dalam menyikapi fenomena meningkatnya kasus-kasus
seperti ini harus dipahami akar mulanya. Sebagian besar dari masalah tesebut
berawal dari kondisi sosial ekonomi masyarakat sendiri yang memaksa mereka
seperti itu. Fenomena ini tidak saja menjadi tanggung jawab aparat penegak
hukum semata melainkan menjadi tanggung jawab semua pihak khuhusnya pemerintah untuk
menanganinya.
Kesejahteraan menjadi kunci utama dalam meminimalisir kasus
tersebut terjadi kembali. Peran pemerintah seharusnya lebih fokus dalam tahapan
memperbaiki kesejahteraan masyarakat bukan mensejahterakan para pejabat.
Ansyani hanya salah satu korban ketidakadilan hukum yang ada di Indonesia dan
sebagai korban ke pandiran pemerintah dalam menangani kemakmuran bagi warga
negaranya.
Seperti halnya kasus Ansyani, untuk mewujudkan keadilan bagi
korban dan pelaku, adalah baik ketika para penegak hukum berpikir dan bertindak
secara progresif yaitu tidak menerapkan peraturan secara tekstual tetapi perlu
menerobos aturan karena pada akhirnya hukum itu bukan teks demi tercapainya
keadilan yang diidamkan oleh masyarakat.
Aparatur penegak hukum khususnya hakim terpaku dengan
paradigma rule making yang hanya menerapkan undang-undang
semata. Kurang berani untuk menerapkan paradigma rule breaking yaitu
penerapan hukum yang melompat ke aspek nilai-nilai keadilan dan terutama
kemanusiaan. Paradigma rule breaking ini sering disebut
penegakan hukum progresif. Aparatur penegak hukum belum sepenuhnya memahami
bahwa tujuan penegakan hukum yang berkeadilan adalah hukum untuk terwujudnya
kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Dimana keadilan tersebut bukan hanya
keadilan formal tetapi keadilan substansial.
Maka dari itu, hukum yang progresif asumsi dasarnya bahwa
hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Hukum bukan sebagai institusi
yang bersifat mutlak dan final, melainkan sebagai institusi bermoral, bernurani
dan karena itu sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada
manusia. Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan untuk mengantarkan manusia
kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia. Kemanusiaan
dan keadilan menjadi tujuan dari segalanya dalam kita berkehidupan hukum. (Calam rahmat)
0 komentar:
Posting Komentar