“INDONESIA” begitu
kaya Negara ku ini, banyak yang kau miliki tapi sedikit yang kami nikmati.
Indonesia sebuah negeri dengan untaian
±17.000 pulaunya di atas hamparan
yang luasnya mencapai 1,3 % dari luas wilayah bumi merupakan negeri makmur yang
memiliki keindahan alam, kesuburan serta kekayaan alam yang meilimpah baik di
darat maupun lautnya.
Hamparan air yang terbentang dari barat sampai timur
tak terhitung berapa banyak hasil ikan yang kau miliki, bahkan hamparan lahan
hijau yang kau punya tak sepenuhnya kami nikmati. Indonesia memiliki hutan
tropis terbesar di asia fasipik yang kaya akan ragam flora dan faunanya
sebanyak 447 spesies dan 225 diantaranya hanya ada di Indonesia, ke-3 dunia
terkaya akan reptile yaitu lebih dari 600 spesies, ke-4 terkaya akan burung
yaitu 1519 spesies atau 17 persen dari populasi dunia, nomer 5 dunia untuk
amfibi 270 spesies atau 16 persen dari populasi dunia dan banyak lagi.
Belum lagi kekayaan bahan tambang seperti emas di
papua yang termasuk terbesar di dunia, Indonesia mempunyai cadangan minyak
sebesar ±97 milyar barel dengan produksi ±1,2 juta barel/hari seharusnya
membuat negeri yang sering di sebut “Jambrud
katulistiwa” yang seharusnya membuat negeri ini semakin sejahtera dan
makmur.
Namun apa yang terjadi sudahkah semua kekayaan itu
kita rasakan, sudahkah kita menjadi sejahtera dan makmur karenanya, sudahkah
kita menjadi peradaban yang lebih baik, namun “apa yang terjadi dengan negeri ku ini?”. Alih–alih menjadi Negara
makmur tapi Indonesia mewarisi problem hutang yang begitu besar, ironisnya
hampir setengahnya dana hutang itu hanya di nikmati oeh beberapa kalangan saja,
belum lagi eksploitasi besar-besaran oleh perusaan swasta dan asing terhadap
kekayaan alam Indonesia, bahkan hampir 90 persen minyak dan gas bumi Indonesia
di kuasai oleh perusaan swasta dan asing, mereka mengeruk habis kekayaan yang
seharusnya menjadi jatah anak cucu negeri sendiri.
Semakin banyaknya pengangguran, buruknya layanan
umum dan kesehatan, serta kurangnya perhatian pemerintah terhadap layaknya
tempat tinggal bagi orang-orang yang ada di pedalaman, desa-desa terpencil yang
ada di negeri ini, yang mengakibatkan semakin banyaknya tindak kejahatan serta
lemahnya aturan yang di terapkan oleh para pelaku kebijakan. Merosotnya sistem pendidikan yang terdapat di
negeri ku ini, banyak nya korupsi dan mafia peradilan yang menghalalkan semua
kebijakan karena sering terjadi nya jual beli atas nama hukum dan peradilan.
Banyaknya kasus kerusuhan di berbagai belahan kota
yang ada di negeri ini, mulai dari perang saudara, sengketa lahan, perebutan
kekuasaan dan lain sebagainya menjadi catatan hitam untuk negeri ku yang kata
nya “DAMAI” ini, Serta masih banyak
nya campur tangan asing dalam setiap kebijakan yang ada di Indonesia.
Para
pemimpin dan wakil kita yang ada di atas sana apakah mereka melihat, apakah
mereka mendengar dan apakah mereka sadar akan orang di bawahnya.
Ini mungkin impian semua warga Negara yang ada di
dunia tak di pungkiri sebagai warga Negara Indonesia yang katanya sangat subur
dan penuh dengan kemakmuran tapi nyatanya hampir dimana-mana terlihat kekacauan
yang timbul dari kurang nya perhatian pemerintah terhadap rakyat kecil.
Lagi dan lagi nama pemerintah tidak bisa dihindari
ketika banyak masalah yang terjadi di Indonesia, al hasil kesalahpahaman masih
banyak tibul dan perselisihan semakin bebas, apa lagi semenjak kebebasan
berpendapat itu di utarakan sejak tahun. kebebassan berpendapat yang seharusnya
di pergunakan dengan baik dan bijak, disini malah di pakai untuk mengarah
kepada penyudutun antar orang maupun kelompok.
Entah apa yang sedang di pikirkan mereka ketika
pendapat yang telah mereka kemukakan tidak diterima dan ujung-ujung nya
melakukan hal-hal yang seharusnya tidak wajar dilakukan oleh seorang warga
Negara yang baik, apalagi sampai merusak kenyamanan umum. Tidak sedikit para
pelaku yang mengatas namakan masyarakat yang butuh keadilan itu dari kalangan akademisi
yang tergolong orang–orang aktifis yang sudah mengerti akan segala bentuk
tatanan aturan yang ada di Indonesia.
Sangat disayangkan kejadian ini tidak hanya terulang
untuk sekali-dua kali saja, apa dengan cara ini semua suara mereka di dengar
oleh orang–orang yang duduk santai dengan beralaskan uang rakyat di dalam
ruangan ber-AC? Tidak bisa menjamin semua suara mereka di dengar. Tak sedikit
orang memandang hal seperti ini sebagai hal yang wajar karena menurut sebagian
orang ini adalah cara terkhir dan bisa di sebut sebagai cara paing pamungkas
untuk mengetuk hati para pemimpin di atas sana.
Saat semua terjadi ketika masalah terus melanda dan
akhirnya “dia” sosok utama yang
katanya menjadi tolak ukur suara kami semua, ketika semua masalah dan cara
penyelesaiannya di luar batas kenormalan, dia
akan mulai berbicara dan ketika itu pula suaranya
yang sangat di harapkan oleh kami rakyat yang butuh akan perhatian “Anda”, suara bising dari segala pihak
saat itu terhiraukan, karena berharap semua keluh kisah dan yang lain terdengar
olehnya “sang penguasa tanah air tercinta”.
Dan sekali lagi banyak sekali suara kami yang sangat sulit untuk di dengar,
tidak peduli seberapa kerasnya kami melakukan hal ini, ya mungkin mereka
mendengar tapi mereka mendengar itu hanya sebagai nyanyian dari para pemalas.
Bukan dia yang duduk manis berlaskan uang rakyat.
Kapan kami bisa menikmati manisnya sapaan sang pemimpin tanah air di atas sana?
Kapan kami bisa melihat senyum wajahnya? Kapan kami bisa mengatakan langsung “kalian memang bukan tuhan, tapi apa harus
diam ketika aku dan yang lain menjerit meminta pertolongan” ?
0 komentar:
Posting Komentar