Sabtu, 27 September 2014

Indonesia Ini Negeri-ku

INDONESIA” begitu kaya Negara ku ini, banyak yang kau miliki tapi sedikit yang kami nikmati. Indonesia sebuah negeri dengan untaian  ±17.000 pulaunya  di atas hamparan yang luasnya mencapai 1,3 % dari luas wilayah bumi merupakan negeri makmur yang memiliki keindahan alam, kesuburan serta kekayaan alam yang meilimpah baik di darat maupun lautnya.
Hamparan air yang terbentang dari barat sampai timur tak terhitung berapa banyak hasil ikan yang kau miliki, bahkan hamparan lahan hijau yang kau punya tak sepenuhnya kami nikmati. Indonesia memiliki hutan tropis terbesar di asia fasipik yang kaya akan ragam flora dan faunanya sebanyak 447 spesies dan 225 diantaranya hanya ada di Indonesia, ke-3 dunia terkaya akan reptile yaitu lebih dari 600 spesies, ke-4 terkaya akan burung yaitu 1519 spesies atau 17 persen dari populasi dunia, nomer 5 dunia untuk amfibi 270 spesies atau 16 persen dari populasi dunia dan banyak lagi.
Belum lagi kekayaan bahan tambang seperti emas di papua yang termasuk terbesar di dunia, Indonesia mempunyai cadangan minyak sebesar ±97 milyar barel dengan produksi ±1,2 juta barel/hari seharusnya membuat negeri yang sering di sebut “Jambrud katulistiwa” yang seharusnya membuat negeri ini semakin sejahtera dan makmur.
Namun apa yang terjadi sudahkah semua kekayaan itu kita rasakan, sudahkah kita menjadi sejahtera dan makmur karenanya, sudahkah kita menjadi peradaban yang lebih baik, namun “apa yang terjadi dengan negeri ku ini?”. Alih–alih menjadi Negara makmur tapi Indonesia mewarisi problem hutang yang begitu besar, ironisnya hampir setengahnya dana hutang itu hanya di nikmati oeh beberapa kalangan saja, belum lagi eksploitasi besar-besaran oleh perusaan swasta dan asing terhadap kekayaan alam Indonesia, bahkan hampir 90 persen minyak dan gas bumi Indonesia di kuasai oleh perusaan swasta dan asing, mereka mengeruk habis kekayaan yang seharusnya menjadi jatah anak cucu negeri sendiri.
Semakin banyaknya pengangguran, buruknya layanan umum dan kesehatan, serta kurangnya perhatian pemerintah terhadap layaknya tempat tinggal bagi orang-orang yang ada di pedalaman, desa-desa terpencil yang ada di negeri ini, yang mengakibatkan semakin banyaknya tindak kejahatan serta lemahnya aturan yang di terapkan oleh para pelaku kebijakan.  Merosotnya sistem pendidikan yang terdapat di negeri ku ini, banyak nya korupsi dan mafia peradilan yang menghalalkan semua kebijakan karena sering terjadi nya jual beli atas nama hukum dan peradilan.
Banyaknya kasus kerusuhan di berbagai belahan kota yang ada di negeri ini, mulai dari perang saudara, sengketa lahan, perebutan kekuasaan dan lain sebagainya menjadi catatan hitam untuk negeri ku yang kata nya “DAMAI” ini, Serta masih banyak nya campur tangan asing dalam setiap kebijakan yang ada di Indonesia.
Para pemimpin dan wakil kita yang ada di atas sana apakah mereka melihat, apakah mereka mendengar dan apakah mereka sadar akan orang di bawahnya.
Ini mungkin impian semua warga Negara yang ada di dunia tak di pungkiri sebagai warga Negara Indonesia yang katanya sangat subur dan penuh dengan kemakmuran tapi nyatanya hampir dimana-mana terlihat kekacauan yang timbul dari kurang nya perhatian pemerintah terhadap rakyat kecil.
Lagi dan lagi nama pemerintah tidak bisa dihindari ketika banyak masalah yang terjadi di Indonesia, al hasil kesalahpahaman masih banyak tibul dan perselisihan semakin bebas, apa lagi semenjak kebebasan berpendapat itu di utarakan sejak tahun. kebebassan berpendapat yang seharusnya di pergunakan dengan baik dan bijak, disini malah di pakai untuk mengarah kepada penyudutun antar orang maupun kelompok.
Entah apa yang sedang di pikirkan mereka ketika pendapat yang telah mereka kemukakan tidak diterima dan ujung-ujung nya melakukan hal-hal yang seharusnya tidak wajar dilakukan oleh seorang warga Negara yang baik, apalagi sampai merusak kenyamanan umum. Tidak sedikit para pelaku yang mengatas namakan masyarakat yang butuh keadilan itu dari kalangan akademisi yang tergolong orang–orang aktifis yang sudah mengerti akan segala bentuk tatanan aturan yang ada di Indonesia.
Sangat disayangkan kejadian ini tidak hanya terulang untuk sekali-dua kali saja, apa dengan cara ini semua suara mereka di dengar oleh orang–orang yang duduk santai dengan beralaskan uang rakyat di dalam ruangan ber-AC? Tidak bisa menjamin semua suara mereka di dengar. Tak sedikit orang memandang hal seperti ini sebagai hal yang wajar karena menurut sebagian orang ini adalah cara terkhir dan bisa di sebut sebagai cara paing pamungkas untuk mengetuk hati para pemimpin di atas sana.
Saat semua terjadi ketika masalah terus melanda dan akhirnya “dia” sosok utama yang katanya menjadi tolak ukur suara kami semua, ketika semua masalah dan cara penyelesaiannya di luar batas kenormalan, dia akan  mulai berbicara dan ketika itu pula suaranya yang sangat di harapkan oleh kami rakyat yang butuh akan perhatian “Anda”, suara bising dari segala pihak saat itu terhiraukan, karena berharap semua keluh kisah dan yang lain terdengar olehnya “sang penguasa tanah air tercinta”.
Dan sekali lagi banyak sekali  suara kami yang sangat sulit untuk di dengar, tidak peduli seberapa kerasnya kami melakukan hal ini, ya mungkin mereka mendengar tapi mereka mendengar itu hanya sebagai nyanyian dari para pemalas.

Bukan dia yang duduk manis berlaskan uang rakyat. Kapan kami bisa menikmati manisnya sapaan sang pemimpin tanah air di atas sana? Kapan kami bisa melihat senyum wajahnya? Kapan kami bisa mengatakan langsung “kalian memang bukan tuhan, tapi apa harus diam ketika aku dan yang lain menjerit meminta pertolongan” ?

0 komentar:

Posting Komentar