Indonesia merupakan negara hukum berbasis
Undang-Undang dan Pancasila. Setiap kebijakan yang keluar harus tetap
berlandaskan kedua hal tersebut. Sejalan dengan itu kebebasan berpendapat masih
penuh dengan resiko yng ditangung oleh jurnalis. Dengan sistem yang dianggap
belum sesuai dengan apa yang terjadi saat ini. Carut marut kontrol peraturan
jalannya kebijakan menjadi permasalahan utama bangsa ini. Pilar ke empat bangsa
harus tetap menjadi pengontrol stabilisasi semua permasalahan. Sejalan dengan
itu jurnalis bukan hanya sebagai Agent of
change namun harus sebagai Agent of
control.
Berbagai informasi mengenai kebijakan tak jarang
masih dianggap sebagai omongon belaka. Kurangnya pengawasan membuat banyaknya kebijakan
menjadi simpangsiur bahkan tak jarang membuat kontroversial. Semua itu terus bertebaran tanpa ada saringan yang jelas.
Disinilah Lembaga pers masih menjadi muatan utama untuk menyaring berbagai
informasi kebijakan yang dianggap masih belum terselesaikan. Sehingga, seyogyanya
lembaga pers menjadi sebuah corong informasi yang dapat dipercaya dimana setiap
informasinya harus faktual dan mendalam.
Sebagai suatu lembaga seharusnya pers dapat menjaga
idealismenya untuk tetap memberikan sebuah informasi dengan data yang akurat
dan mendalam tanpa memihak siapapun. Persoalan yang terus bergentayangan saat
ini, pers masih memposisikan diri sebagai jalur alternatif dari sebuah tangan
kekuasaan tertentu. Bahkan, hanya sekedar menjadi jembatan penyampai informasi
semata bukan memperbaiki dan mengkritisisasi informasi tersebut.
Lembaga pers memang tak selamanya menjadi acuan
untuk setiap hal yang ada dan terjadi saat ini. Namun, pers menjadi tolak ukur
pertama tak kala beberapa peristiwa masih simpang-siur. Disamping itu seorang jurnalis
lah yang menjadikan sebuah informasi layak atau tidaknya menjadi sebuah berita untuk
dikonsumsi publik. Suatu informasi yang
disajikan sebuah lembaga pers terletak dari segi mana seorang Jurnalis dapat
mengolah informasi tersebut dengan baik. Entah itu berpihak pada suatu organ
tertentu, benar atau salah nya informasi itu tergantung Jurnalis yang menangani
peristiwa, karena hanya dia yang tahu pasti mengenai kejadian tersebut.
Pengalaman empiris menunjukkan tingkat kematangan pers
dikalangan mahasiswa, disamping keterkaitannya dengan aktivitas pergerakan dan
perjuangan. Mahasiswa yang terbina dalam suara kebebasan, memiliki hak mutlak untuk
memberikan gagasan tajam tentang permasalahan yang terjadi. Lembaga pers
menjadi wadah yang ideal tak kala suara mereka masih belum didengar. Sementara itu,
kalangan kekuasaan birokrat dengan kecenderungan otoriteristik memandang pers
hanyalah sekedar alat penanaman opini yang efektif, tak lebih.
Ditingkatan Perguruan Tinggi sebuah lembaga pers
masih menempati posisi yang cukup tajam untuk memberikan informasi kepada
seluruh civitas akademisi yang ada di lingkungan tersebut. Namun, seyogyanya
lembaga pers kalangan mahasiswa dapat lepas dari cengkraman tangan instansi.
Kucuran dana yang mengalir dari instansi masih sangat terasa dibeberapa Lembaga
Pers Mahasiswa (LPM), mati tidak nya LPM masih ditentukan oleh instansi terkait.
Seharusmya LPM menjadi lembaga yang benar-benar independen tanpa campur tangan
lembaga pemerintah maupun instansi perguruan tinggi.
Sebuah polemik terjadi tak kala LPM yang seharusnya
menjadi corong suara mahasiswa, kini dibatasi dengan aturan mengikat yang
dikeluarkan instansi. Bahkan, hanya
sekedar lahan penampung obral janji semata para birokrat. Faktanya, memang
benar informasi yang mereka berikan sangat akurat. Namun masih ada beberapa
informasi yang dipandang tak perlu dipublikasikan, inilah akibat dari
ketergantungan terhadap suatu instansi. Seperti halnya sebuah informasi yang sengaja
tidak dimunculkan karena alasan takut akan adanya penghentian kucuran dana dari
instansi terkait.
LPM seharusnya dapat menjadi sebuah corong informasi
yang lebih akurat dan tajam terhadap permasalahan yang terjadi kampus, bukan
hanya sekedar memberikan informasi semata. Karena disinilah suara kebenaran
akan terlihat ke permukaan dengan sekat yang seharusnya terbuka. Keberpihakan
suatu LPM memang tidak terlihat jelas, baik dari setiap Jurnalis yang mengisi
disetiap lembaran tabloid, buletin, majalah maupun situs online LPM. Namun, semua
itu dapat terbaca dari hasil dan sajian sebuah tulisan yang dipandang kurang
tajam terhadap apa yang ada di lapangan.
Kediktatoran seorang pemimpin lembaga pers mempunyai
andil yang sangat berharga dalam pemisahan diri suatu LPM dengan instansi
resmi. Seharusnya pemimpin LPM dapat berdiri di barisan terdepan untuk
mengkritisasi instansi karena suara mereka dibatasi dengan aturan yang tak
seimbang. Apalagi sudah jelas diatur
dalam Undang-Undang, publik berhak mendapatkan informasi yang benar. Maka dari
itu, seharusnya LPM Bukan hanya sekedar menjelaskan tutur kata yang keluar dari
para birokrat semata, tapi mengupas habis semua kejanggalan yang terjadi.
Polemik kekuasaan dan pencitraan hanya demi jabatan
tertentu disebuah instansi menjadi tolak ukur sebuah LPM tak akan berpaling
dari segala cengkraman kediktatoran instansi. Mati dan hidup sebuah LPM masih
diukur dengan kucuran dana instansi terkait. Seharusnya tidak demikian, mereka
harus benar-benar lepas dari keterikatan tersebut. Agar suara yang ideal dapat
terus mengalir dari tangan-tangan akademisi yang berintelektual tanpa pilih
asa.
Seharusnya suara Jurnalis menjadi lebih tajam dari
hanya sekedar membagikan informasi semata. Suara yang mengacu pada kepentingan
publiklah tetap menjadi prioritas utama sudut pandang seorang jurnalis dalam
menggali sebuah informasi. Hasilnya LPM akan menjadi bumerang tajam untuk
meleburkan birokrat tak berintelektual yang hanya memperdulikan perut dan
sandangnya saja. Semoga!! (Calam Rahmat)
0 komentar:
Posting Komentar